Senin, 13 Januari 2014

Drama "Asal Mula Nama Kota Cianjur"

Tokoh Drama:
1.    Pak Kikir
2.    Anak Pak Kikir


3.    Nenek
4.    Warga Desa


Dikisahkan,  pada jaman dahulu  kala di daerah jawa barat hiduplah seorang lelaki petani yang sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan ladang lelaki kaya itu.

Petani kaya itu memiliki sifat kikir. Oleh karena itu, penduduk desa menjulukinya Pak Kikir. 

Kekikiran Pak kikir tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit. Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu.

Anak Pak Kikir itu adalah pemuda yang baik hati. Tanpa sepengetahuan ayahnya, dia sering membantu tetangganya yang kesusahan.

Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran dengan baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir.
 

Pak Kikir:
Wahai, para penduduk desa! Datanglah, kemari! Aku akan mengadakan pesta syukuran dan selamatan. Jangan lewatkan kesempatan ini!

Warga 1:
Hei, Kawan! tinggalkan dulu pekerjaannya. Pak kikir sedang mengadakan acara syukuran kita para warga desa  diundang untuk datang ke rumahnya.

Warga 2:
Ayo, ayo,  buruan kita datang. Nanti buru abis makanannnya.

Warga 3:
Ayo, kita sama-sama datang ke rumahnya.

Narator:
Begitu setelah warga sampai di rumah Pak Kikir....


Warga 2:
Huuuuhh! Kita diundang orang terkaya se desa, ku kira akan disediakan makanan yang enak dan lezat. Ternyata....cuman makanan apa ini?? Ga enak! Lagian makanannya dikiiit bangeeet. Ah! Ternyata perkiraanku meleset.

Warga 3:
Iya betul. Tuh lihat para tamu undangan yang lain juga tidak mendapat makanan.

Warga 1:
Ya Tuhaaann!(sambil mengelus dada)
Pak kikir memang terbukti kikir!

Warga 2:

Huuh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakan makanan, sungguh keterlaluan! buat apa hartanya yang segudang itu.
Tuhan tidak akan memberikan berkah pada hartanya yang banyak itu.

Narator:
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.

Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, iba-tiba datanglah seorang nenek tua renta,


Nenek:
(sambil merintih)
Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi.

Pak Kikir:
Apa, sedekah?! Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?

Nenek:
Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu....Tuan,

Pak Kikir:
Tidak! Cepat pergi dari sini! kalau tidak, aku akan suruh tukang pukulku untuk menghajarmu!!

Narator:
Nenek tua itu segera berlalu dari hadapan Pak Kikir. Tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir secara kasar oleh Pak Kikir. Dengan hati pilu, dan mengeluarkan air mata.
nenek yang malang itu segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Ia berjalan sempoyongan menyusuri jalan desa.

Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih.


Anak Pak Kikir:
Kasihan Nenek itu. Sudah dibentak-bentak ayah tapi juga ga dikasih makanan oleh ayah. Gimana ya, caranya aku bisa ngasih sedekah ke nenek itu?
Oooh iya, aku ambilkan saja jatah makan siangku buat nenek itu.

Narator:
Tak lama kemudian anak Pak Kikir mengejar si nenek tua....
 

Anak Pak Kikir:
Mana si nenek ya? Ooh itu dia! Sudah sampai di ujung desa.
Nek! Tunggu, Nek!

Narator:
Nenek itu pun berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ia melihat seorang anak muda berlari mendekatinya.


Nenek:
Ada apa, Anak muda?

Anak Pak Kikir:
Saya anak Pak Kikir, Nek! Saya ingin meminta maaf atas perlakuan ayah saya tadi! Sebagai obat kecewa, ambillah jatah makan siang saya ini, Nek!

Nenek:
(gembira)Terima kasih, Nak! Engkau anak yang baik hati. Semoga Tuhan akan membalas kebaikanmu ini dengan kemuliaan.

Anak Pak Kikir:
Sama-sama, Nek! kalau begitu, saya langsung pulang ya, Nek. Khawatir ayah mencariku.

Nenek:
Hati-hati, Nak

Narator:
Setelah anak Pak Kikir pergi, nenek tua itu segera menyantap makanan itu, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah bukit di dekat desa. Setibanya di atas bukit, ia berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Dari atas bukit itu ia dapat melihat rumah Pak Kikir berdiri dengan megah di antara rumah-rumah penduduk desa. Ia turut bersedih melihat penderitaan penduduk akibat keserakahan Pak Kikir.


Nenek:
Dasar orang tua serakah! Tunggulah pembalasannya, Pak Kikir! Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu. Keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkanmu!

Narator:
Usai berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, nenek tua itu segera menancapkan tongkatnya ke tanah. Begitu ia mencabut kembali tongkatnya, terpancarlah air yang sangat deras dari lubang tancapan itu. Semakin lama lubang tancapan itu semakin besar, sehingga terjadilah banjirlah besar.
Melihat kedatangan banjir itu, para warga yang masih berkumpul di rumah Pak Kikir menjadi panik dan segera berlarian mencari tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri.
 

Warga 2:
Haaahh?? Kenapa tiba-tiba ada air mengalir banyak sekali?

Warga 1:
 Ini banjir!

Warga 3:
Iya betul. Ini banjir(teriak) Banjir...! Banjir...! Ayo lari...!

Narator:
Melihat kepanikan para warga, anak Pak Kikir segera menganjurkan mereka agar berlari menuju ke atas bukit mencari tempat yang aman.


Anak Pak Kikir:
Hai, para  warga ga usah panik! Ayo segera kita selamatkan diri kita. Ayo, kita semua lari ke atas bukit!

Warga 1,2,3:
Bagaimana dengan sawah dan ternak kita?

Anak Pak Kikir:
Tidak usah memikirkan harta kalian!
Kalian pilih harta atau jiwa?! Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi.
Yang penting selamatkan dulu nyawa kalian!

Narator: 
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa.
Akhirnya, warga pun berlarian menuju ke atas bukit. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah menyelamatkan diri. Tapi apa kata Pak kikir...


Anak Pak Kikir:
Ayah, cepat tinggalkan rumah ini! kita harus segera keluar menyelamatkan diri!

Pak Kikir:
Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanah dulu!

Anak Pak kikir:
(teriak)Ayah, ayo cepat keluarlah dari rumah! Banjir itu sudah semakin dekat! Kita harus segera menyelamatkan diri!”
Ayaaaah! Ayo cepat keluaaar, ayaaah!
Duuuh gimana ini ayah tidak mau keluar juga. Ya sudahlah aku harus menyelamatkan diri dengan para warga.

Narator:
Pak Kikir tidak menghiraukan seruan anaknya. Ia terus berusaha mengambil peti hartanya yang disimpan di dalam tanah. Sementara anak Pak Kikir dan warga menyelamatkan diri berlari naik ke atas bukit, akhirnya selamat. sedangkan
Pak Kikir yang masih sibuk mengumpulkan hartanya, tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Banjir besar itu telah menenggalamkannya.

Meskipun selamat mereka sangat sedih, karena seluruh desa mereka sudah terendam banjir. Rumah, ternak, dan seluruh harta benda mereka hanyut terbawa arus banjir.

Para warga dan anak Pak Kikir menatap pemandangan desanya dari atas bukit penuh dengan genangan air.
 

Anak Pak Kikir:
Wahai para warga, kita tidak boleh larut terus menerus dalam kesedihan. Kita harus segera bangkit. Kita sama-sama mencari daerah lain yang lebih aman untuk kita bisa bermukim.

Warga 1:
Ya betul! Kita ikut anjuranmu, Nak. Ayo kita segera berangkat!

Narator:
Tak lama kemudian....


Warga 2:
Nah! Tempat ini sepertinya cocok untuk pemukiman kita. Bagaimana para warga setuju kita tinggal di sini!

Para warga:
Setujuuu?

Warga 3:
Nah sekarang, kita menempati tempat tinggal baru. Kita harus memiliki pemimpin untuk memimpin desa kita yang baru. Bagaimana kalau kita pilih pemuda ini untuk menjadi kepala desa kita yang baru? Setuju para warga?

Para warga:
Setujuuu!!


Narator:
Setelah anak Pak kikir diangkat warga menjadi kepala desa,
Anak Pak Kikir itu bisa menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Tak lama kemudian, Setelah membagi tanah secara rata, ia pun menganjurkan warganya untuk mengolah tanah tersebut. Ia mengajari mereka cara menanam padi dan mengairi sawah dengan baik. Berkat anjuran anak Pak Kikir, mereka hidup aman dan sejahtera. Mereka pun senantiasa patuh terhadap anjuran pemimpinnya. Desa itu kemudian mereka namai Desa Anjuran.

Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur
berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah. Hingga kini, kota Cianjur selain dikenal sebagai kota santri, juga penghasil beras wangi dan pulen. Dari cerita di atas, juga bisa diambil pelajaran bahwa kekikiran dan keserakahan terhadap harta benda dapat menyebabkan seseorang celaka.
Mockingjay